Minggu, 03 Maret 2013

Konservasi Mangrove



KONSERVASI MANGROVE

Latar Belakang
Berdasarkan data tahun 1999, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 8,60 juta hektar dan 5,30 juta hektar di antaranya dalam kondisi rusak (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2001). Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove yang sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan luas tambak di Indonesia dari sekitar 225.000 ha pada tahun 1984 (Direktorat Jenderal Perikanan 1985) menjadi 325.000 ha pada akhir Pelita IV (Cholik dan Poernomo 1986). Selanjutnya untuk menunjang keberhasilan “Protekan 2003”, pengembangan budi daya tambak hingga tahun 2002/ 2003 ditargetkan mencapai 212.600 ha untuk program intensifikasi tambak dan 122.800 ha untuk program ekstensifikasi tambak, dengan target perolehan devisa US$ 6.778 juta (Nurdjana 1999). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, pada tahun 1999 luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi pertambakan mencapai 840.000 ha (Inoue et al. 1999) sehingga hutan mangrove banyak yang mengalami kerusakan (Gunarto dan Hanafi 2000).

Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Melimpahnya bahan organic yang berasal dari sisa pakan pada usaha budi daya udang intensif di lingkungan perairan pantai juga menyebabkan bakteri oportunistik patogen berubah menjadi betul-betul patogen seperti bakteri Vibrio harveyi. Selain itu, serangan white spot baculo virus (WSBV) juga meningkat dan telah menyebabkan kematian udang windu yang dibudidayakan di tambak (Ahmad dan Mangampa 2000). Inoue et
al. (1999) melaporkan bahwa pada tahun 1990, sekitar 15.000 ha tambak udang mengalami gagal panen akibat serangan virus. Serangan virus ini semakin meluas hingga tahun 2000 dan menyebabkan banyak tambak udang gagal panen. Akibatnya produksi udang hasil budi daya terus menurun hingga tahun 2001, yaitu dari 180.000 metrik ton pada tahun 1995 menjadi 80.000 metrik ton pada tahun 2001 (Sugama 2002). Dampak lainnya adalah menurunnya keanekaragaman hayati organisme akuatik (Soeriaatmadja 1997).

Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut serta untuk memulihkan kondisi perairan pantai yang telah rusak dan menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan ikan, maka perbaikan perairan pantai yang telah rusak mutlak dilakukan dengan melestarikan mangrove. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat pantai sehingga akan tercipta community-based management, atau masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian mangrove (Bengen2000).

Fungsi Mangrove
Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarin sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian, daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang
surut.

Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan.

Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi daya perikanan harus rasional.

Mangrove mempunyai komposisi vegetasi tertentu. Pembentuk kelompok vegetasi ini adalah berbagai spesies tanaman mangrove yang dapat ber adaptasi secara fisiologis terhadap lingkungan yang khas, yaitu salinitas tinggi, sedang atau rendah, tipe tanah yang didominasi lumpur, pasir atau lumpur berpasir, dan terpengaruh pasang surut sehingga terbentuk zonasi (Walter 1971 dalam Mustafa dan Sunusi 1981). Perairan mangrove merupakan daerah perawatan dan tempat makan bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Chong et al. (1990) melaporkan bahwa perairan mangrove merupakan tempat mencari makan pada waktu terjadi pasang tinggi bagi ikan-ikan ekonomis maupun nonekonomis.

Upaya Plestarian Mangrove
Tanaman mangrove mempunyai fungsi yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. Dengan demikian, keberadaan sumber daya mangrove perlu diatur dan ditata pemanfaatannya secara bertanggung jawab sehingga kelestariannya dapat dipertahankan. Inoue et al. (1999) melaporkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 75 spesies vegetasi mangrove yang tersebar di 27 propinsi. Selanjutnya Suryati et al. (2001) melaporkan, beberapa vegetasi mangrove seperti Osbornia octodonta, Exoecaria agalocha, Acanthus ilicifolius, Avicennia alba, Euphatorium inulifolium, Carbera manghas, dan Soneratia caseolaris mengandung zat bioaktif yang dapat dijadikan bahan untuk penanggulangan penyakit bakteri pada budi daya udang windu.

Daerah pantai termasuk mangrove mendapat tekanan yang tinggi akibat perkembangan infrastuktur, pemukiman, pertanian, perikanan, dan industri, karena 60% dari penduduk Indonesia bermukim di daerah pantai. Diperkirakan sekitar 200.000 ha mangrove di Indonesia mengalami kerusakan setiap tahun (Inoue et al. 1999). Melihat fungsi mangrove yang sangat strategis dan semakin meluasnya kerusakan yang terjadi, maka upaya pelestarian mangrove harus segera dilakukan dengan berbagai cara. Dalam budi daya udang, misalnya, harus diterapkan teknik budi daya yang ramah mangrove, artinya dalam satu hamparan
tambak harus ada hamparan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon air sebelum air masuk ke petakan tambak. Upaya penghutanan kembali tepi perairan pantai dan sungai dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

Kesimpulan
Mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter serta agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, ikan, kepiting pemakan detritus dan bivalvia juga ikan pemakan plankton sehingga mangrove berfungsi sebagai biofilter alami oleh karena itu perlu dilakukan upaya konservasi mangrove.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar