Kamis, 03 November 2011

Carbon Dunia

Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Peningkatan suhu bumi atau sering dikenal dengan pemanasan global merupakan hal yang nyata atas sejumlah pengamatan suhu udara dan samudera yang meningkat, meluasnya salju dan es yang meleleh dan kenaikan muka air laut rata-rata (IPCC, 2007). Kenaikan suhu bumi ini menjadi ancaman bagi kehidupan manusia dalam bentuk bencana kekeringan, banjir, tenggelamnya pulau-pulau, kelaparan, kesehatan, dan lain-lain.
Sepanjang abad ke-20, benua Asia telah mencatat rekor kenaikan suhu tertinggi 1° C (IPCC, 2007). Karena emisi akan tetap berada di atmosfer dalam waktu lama, pemanasan 10 tahunan sebesar 0,2° C hingga tahun 2030 diprediksi akan terjadi (IPCC, 2007). Menurut World Bank (2007), meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu bumi sebesar 1,4-5,8° C. Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0, 3° C sejak tahun 1990. Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1° C di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990 (Hulme and Sheard, 1999). Skenario konsentrasi CO2, kenaikan suhu bumi dan kenaikan muka air laut rata-rata secara global sampai tahun 2100 diperlihatkan pada Tabel 1 di bawah ini. Menurut World Bank (2007), negara-negara industri di bagian utara menghasilkan emisi antara 10 – 1.600 juta metrik ton Karbon, jauh melebihi negara-negara di bagian selatan yang menghasilkan emisi 0 – 100 juta metrik ton Karbon. Gambar 1 memperlihatkan sebaran emisi Karbon Dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh negara-negara di dunia berdasarkan laporan World Bank tahun 2007.
Tabel 1. Konsentrasi CO2 menurut skenario IPPC tahun 2001
Sumber: IPCC, 2001
Sumber: World Bank, 2007
Gambar 1. Total emisi Karbon Dioksida (CO2) pada masing-masing negara di dunia

Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan yang menjadi kelanjutan dari berbagai kesepakatan penyelamatan bumi akibat pemanasan global. Protokol Kyoto mewajibkan sejumlah negara industri untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 hingga akhir tahun 2012. Untuk mencapai target pengurangan emisi GRK, Protokol Kyoto mengadopsi beberapa mekanisme yaitu perdagangan karbon (carbon trading), implementasi bersama (joint implementation), dan mekanisme pembangunan bersih (CDM-clean development mechanism). Ada dua jenis perdagangan karbon yang dikenal saat ini yaitu perdagangan emisi (emission trading) dan perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Gambar 2 memperlihatkan negara-negara non-Annex 1 atau negara-negara yang tidak diharuskan mengurangi emisi yang potensial untuk dijadikan lokasi kegiatan pengurangan emisi baik dalam bentuk perdagangan karbon maupun CDM (IPCC, 1995).
Perdagangan karbon (carbon trading) adalah salah satu skema yang didorong dalam upaya mengurangi dampak pemanasan global yang berlangsung saat ini. Walaupun banyak pihak yang menolak skema ini karena dianggap lebih menguntungkan negara-negara industri (negara-negara Annex 1 dalam Protokol Kyoto) yang diperbolehkan terus menghasilkan emisi asalkan memberikan kompensasi yang salah satunya dalam bentuk penanaman pohon dan pelestarian hutan di negara-negara selatan termasuk di Indonesia (skema REDD-Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dalam Bali Road Map 2007).
Vegetasi hutan tropis memiliki peran yang kuat dalam perubahan iklim lokal dan global, dan memiliki peran penting dalam fluktuasi karbon global (IPCC, 1996; Dixon et al., 1994). Vegetasi menyerap CO2 di atmosfer (carbon sink) melalui proses fotosintesis dan menyimpan karbon dalam struktur tanaman (Dixon et al., 1994). Dalam skema REDD ada 2 (dua) parameter yang digunakan untuk menilai keberhasilan skema tersebut yaitu perubahan luas tutupan lahan (forest cover change) dan perubahan stock karbon (carbon stock change) (IFCA, 2007).
Penelitian ini memaparkan metode perhitungan luas tutupan hutan dan estimasi stock karbon menggunakan data penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang sangat bermanfaat dalam membantu melakukan kajian perubahan tutupan lahan dan estimasi stock karbon karena memiliki kemampuan melakukan observasi terhadap muka bumi yang dilakukan secara sistematik, wilayah cakupan (area coverage) yang luas mencapai ribuan kilometer, dan waktu ulang perekaman (revisit orbit) yang singkat 2-3 hari.

( dikutip dari http://rsandgistutorial.blogspot.com/2010/03/perhitungan-karbon-stock-dengan.html )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar